Masih pagi buta, Indar Jaya (22) sudah bersiap dengan pakaian kerjanya. Rutinitas ini telah dilakoninya selama beberapa tahun belakangan. Padahal sebelumnya lelaki yang akrab disapa Tyson, ini bukanlah morning person – istilah untuk orang yang kesulitan bangun di pagi hari. Bahkan jika ungkapan bangun siang rejekimu dipatok ayam itu benar adanya, maka ia benar-benar tak punya lagi jatah rejeki.
Nama panggilan Tyson muncul karena katanya wajahnya semasa kecil mirip Mike Tyson, petinju legendaris yang digelari Si Leher Beton. Lulusan Madrasah Aliyah ini lahir dari keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Rumahnya tak lebih dari anyaman seng bekas yang sudah berkarat. Bahkan rumahnya itu berdiri di tanah milik orang lain. Bapaknya hanya pekerja serabutan yang membuka bengkel tambal ban ala kadarnya. “Pemasukan utamanya keluargaku dari bengkel ji,” ungkapnya. Agar bisa mendapatkan pemasukan tambahan, pekerjaan menambal ban lalu diambil alih oleh ibunya. Bapaknya kemudian mencari pekerjaan tambahan sebagai pembajak sawah saat musim tanam padi tiba. Ia menjadi juru traktor milik orang lain yang nanti hasil bayarannya dibagi dua dengan si empunya traktor. Selain itu, mereka juga mengembalakan sapi milik orang lain. Upaya ini dilakukannya untuk bisa membuat dapur tetap mengepul.
Paska menamatkan sekolahnya di tingkat menengah atas, Tyson hanya menganggur. Aktivitasnya hanyalah nongkrong layaknya kebanyakan pemuda tanggung sebayanya. Ia malah dicap sebagai ‘beban keluarga’ oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Ia seringkali dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang bersekolah lebih tinggi dan selalu mendengar nasehat orang tua.
“Saya pernah diusir sama mamaku dari rumah karena pas tamat sekolah tidak ada mau kukerja. Cuma mau nganggur saja. Jadi lari ma ke Makassar,” terangnya.
Di Makassar, ia hanya bertekad mampu menemukan pekerjaan lalu bisa bertahan hidup tanpa bergantung pada orang tua. Namun, rupanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkali-kali ia harus menelan pil pahit. Lamarannya di beberapa minimarket ditolak mentah-mentah.
Situasi tersebut membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi di Makassar ia hanya menumpang di rumah temannya yang berkuliah di Makassar. “Saya tidak bisa lupa itu, tiga hari ka di Makassar, tidak ada uang kupegang. Biar seratus rupiah,” pungkasnya. Namun ia tidak berhenti meratapi keadaannya. Ia akhirnya bisa bekerja di tempat pembuatan paving. Namun, tidak genap sebulan, ia memutuskan berhenti. Di tengah deraan rasa bersalah, rupanya orang tuanya masih menaruh harap pada anak laki-lakinya ini. Ibunya akhirnya luluh, memintanya untuk pulang ke rumah. Ia kemudian memutuskan pulang ke Bantaeng. Di kampungnya, ia mendapatkan kabar dari orang tuanya bahwa salah satu teman masa kecilnya telah bekerja di Huadi.
Ia pun memantapkan hatinya untuk mencoba peruntungannya masuk ke perusahaan smelter tersebut. “Saya tiga kali masukkan lamaran baru diterima. Yang pertama, saya sudah sampai proses training tapi hari kedua terlambat ka datang jadi ditolak ka. Yang ketiga pi baru diterima,”
cerita lelaki yang tinggal di Beloparang ini. Ia akhirnya diterima bekerja di Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) pada September 2021. Sebelumnya, tak pernah tersirat sedikit pun di benaknya untuk bermimpi memiliki kehidupan yang lebih baik. Cukup bisa makan minum sehari-hari dan melanjutkan hidup untuk esok hari sudah berkah yang luar biasa. Pun keluarganya, tak banyak yang diharapkan dari anak lelakinya ini. “Pas saya dapat gaji pertama, antara mau ka nangis dan senyum-senyum sendiri. Tidak pernah ka bayangkan pegang uang sebanyak itu. Waktu kerja sebagai pembuat paving gajinya hanya ratusan ribu, itu pun sudah bersyukur sekali ma,” ungkapnya dengan mata berbinar-binar.
Tyson mengakui kalau dirinya sempat kalap ketika menerima gaji pertama. “Saya kaget waktu itu karena dapat uang sebanyak itu. Tidak pernah pa pegang uang sebanyak itu, jadi kubelanja sendiri” akunya. Tiga bulan ia bekerja, Tyson menyadari bahwa ada orang tua yang selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Ia pun akhirnya memberikan sebagian gajinya kepada orang tua. Selain itu, ia mulai menabung karena ingin membeli kendaraan untuk dikendarai ke tempat kerja. “Selama ini pakai motor keluarga, jadi kalau kupakai kerja, mereka tidak bisa ke mana-mana,” tuturnya.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan Huadi di Bantaeng memberikan mimpi baru bagi sebagian besar masyarakat. Tyson seperti kebanyakan. pemuda sebayanya perlahan namun pasti mulai punya tujuan hidup. Mereka sudah berani merangkai mimpi. Apalagi sejak Tyson diterima sebagai karyawan di Huadi. Hidupnya kini berangsur membaik. Ia menjelma menjadi tulang punggung kebanggaan keluarga. Hasil kerja kerasnya selama di Huadi telah mampu memberikan kesempatan hidup yang lebih baik. Ia bahkan telah membeli sepetak tanah, tak jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Ia dan keluarganya perlahan membangun tempat tinggal yang lebih layak di tanah milik sendiri. “Itu hari bapakku bilang kalau ada tanah di situ mau dijual, tapi tidak cukup uangku. Kebetulan dia ambil kredit di bank, jadi bilangka tambahmi untuk beli tanah, nanti saya bayarki tiap bulan,” pungkasnya.
Kisah ini dimuat di buku Teroka Kawasan Industri Bantaeng: Harapan dari Selatan, teman – teman bisa langsung membacanya disini.
#KisahInspiratif
#IndarJaya
#HuadiIndonesia
#HuadiGroupBantaeng
#TumbuhBersama